REDAKSI
Viralnya kembali video lawas komedian Pandji Pragiwaksono yang menyinggung tradisi Rambu Solo’ masyarakat Toraja membuka kembali perbincangan lama tentang batas antara humor, pemahaman budaya, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. Dalam video itu, Pandji secara ringan membahas kebiasaan masyarakat Toraja yang menyemayamkan jenazah di rumah sebelum dimakamkan, tanpa menggali konteks spiritual dan sosial yang melatarinya.
Reaksi publik pun cepat mengemuka. Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja Nusantara (IkaT Nusantara), Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, menyebut jika video itu benar berasal dari Pandji, maka penyampaiannya “sangat disayangkan” karena berpotensi mencederai kehormatan adat dan martabat orang Toraja. Ia menegaskan, tradisi Rambu Solo’ bukan sekadar seremoni kematian, melainkan puncak penghormatan terhadap keluarga dan leluhur — sebuah bentuk kasih yang dihayati, bukan ditonton.
Namun di luar polemik sesaat, peristiwa ini menyimpan cermin yang lebih dalam: tentang jarak kultural yang makin lebar antara masyarakat urban modern dan akar kebudayaan Nusantara yang masih hidup di banyak daerah.
Membaca Rambu Solo’ Lewat Kacamata Prof. C. Salombe
Dalam karya klasiknya “Orang Toraja dan Ritusnya”, Prof. C. Salombe menulis bahwa bagi orang Toraja, kematian bukanlah akhir, tetapi peralihan yang harus dijalani dengan tertib, hormat, dan penuh makna. Rambu Solo’ bukan sekadar upacara pemakaman, tetapi “tindakan sosial dan teologis” yang menghubungkan yang hidup dengan yang telah meninggal, dunia nyata dengan dunia arwah.
Menurut Salombe, di balik ritual itu terdapat filosofi hidup yang sangat manusiawi — bahwa hubungan antara anak dan orang tua tidak putus oleh kematian. Jenazah yang disemayamkan di rumah bukan “mayat”, melainkan to’ makula’, seseorang yang “masih bersama keluarga dalam transisi menuju akhirat.” Ia dirawat, diberi pakaian terbaik, dan ditempatkan di rumah keluarga karena masih dianggap hadir secara spiritual.
Dalam pandangan ini, menyimpan jenazah bukanlah tindakan mistis atau irasional, melainkan simbol kasih yang melampaui waktu. Salombe menulis, “Kematian bagi orang Toraja bukan tragedi, melainkan kesempatan terakhir untuk memperlihatkan cinta dan rasa hormat yang sempurna.”
Dari Kesakralan ke Komodifikasi
Pernyataan Frederik Kalalembang sejalan dengan refleksi Salombe. Ia mengingatkan bahwa tidak ada orang Toraja yang menjadi miskin karena adatnya. Sebaliknya, mereka yang setia pada nilai-nilai adat justru menemukan kekayaan spiritual dan solidaritas keluarga yang langka di masyarakat modern.
Namun kini, di tengah dunia yang serba cepat dan berorientasi hiburan, kesakralan itu sering kali disederhanakan. Rambu Solo’ diubah menjadi tontonan pariwisata, dokumenter, atau bahan komedi — dilepaskan dari akar teologis dan moral yang membentuknya. Prof. Salombe sudah memperingatkan hal ini beberapa dekade lalu: “Ketika ritus kehilangan makna simboliknya, ia berubah menjadi bentuk kosong; indah di luar, hampa di dalam.”
Krisis Pemahaman Lintas Budaya
Kasus Pandji juga menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia modern kerap terjebak dalam ignoransi kultural — kegagalan memahami bahwa di balik setiap tradisi, ada sistem makna yang tidak bisa diukur dengan logika tunggal. Humor yang lahir dari ketidaktahuan mudah bergeser menjadi olok-olok terhadap yang dianggap “aneh”.
Padahal, sebagaimana dikatakan Salombe, “Kebudayaan Toraja bukan mitos, tetapi sistem nilai yang masih hidup.” Mengolok ritus semacam Rambu Solo’ berarti merendahkan struktur sosial dan spiritual yang sudah menjaga keseimbangan masyarakat selama berabad-abad.
Refleksi: Belajar Menjadi Indonesia
Peristiwa ini seharusnya tidak berhenti pada kemarahan atau klarifikasi. Ia adalah panggilan untuk refleksi nasional: seberapa dalam kita memahami kebudayaan kita sendiri? Seberapa sering kita memandang tradisi hanya sebagai eksotisme atau bahan hiburan?
Dalam konteks inilah, ajakan Frederik Kalalembang untuk membuka ruang dialog dan klarifikasi menjadi penting. Ia menandai bahwa penghormatan terhadap leluhur bukanlah bentuk kemunduran, melainkan ekspresi kemanusiaan yang luhur — sesuatu yang justru dibutuhkan di tengah modernitas yang kian dingin dan terpecah.
Sebagaimana ditulis Prof. Salombe, “Selama orang Toraja masih mengenang leluhurnya dengan cinta, kehidupan mereka tidak akan tercerabut dari tanah yang memberinya makna.”
Mungkin di sanalah pelajaran sejati dari polemik ini: bahwa sebelum kita menertawakan yang lain, kita seharusnya belajar terlebih dahulu untuk memahami — sebab di balik setiap adat, ada cinta, ada doa, dan ada sejarah panjang kemanusiaan yang tak pantas dijadikan lelucon. []

